Pada sebuah siang di bulan Maret, saat matahari terhalang oleh mendung di angkasa Desa Cimanengah, Cipaku, Bogor, mengaku diri mereka sebagai perempuan-perempuan paling sial di dunia. Bayangkanlah, keduanya menikah dengan penderita HIV. Siang itu, mereka berdua ada bersama saya. Duduk di beranda rumah obat Taman Sringanis yang tepat menghadap Gunung Salak, Bogor.
Sebutlah yang seorang bernama Prita, 25 tahun, sarjana jebolan sebuah universitas di Bandung, mengaku dirinya sudah salah tingkah saat menjelang pernikahannya dengan Budi (bukan nama sebenarnya) setelah mendadak sang pacar mengaku dirinya positif HIV.
Awalnya,
tentu saja sempat shock. Tapi apa mau dikata. Upacara pernikahan sudah di depan
mata. Kerabat dan handai taulan juga sudah diberi kabar. "Tapi tak cuma
persoalan keluarga dan kerabat, sebab saya sudah kadung cinta mati
kepadanya," tutur Prita beralasan kenapa dirinya sedia menikah dengan
Budi, kendati tahu calon suaminya itu telah positif HIV.
Maka
mulailah, Prita menjalani kemalangan hidup. Saat dirinya mengaku terus terang
perihal kondisi suaminya, keluarganya pun menyisihkan dirinya seperti najis.
Tapi
Prita yakin--meski belum pernah menjalani test HIV--dirinya tak tertular virus
mengerikan itu. Sebab katanya, sepanjang setahun pernikahannya, suaminya selalu
mengenakan kondom saat berhubungan intim.
Nah,
seorang lainnya, panggillah dia Rini. Perempuan manis berusia 27 tahun yang
keluarganya berada di Sumatra ini mengaku baru mengetahui suaminya terjangkit
HIV baru sebulan yang lalu. "Padahal kami sudah menikah selama
setahun," ucap Rini.
Rini,
kendati belum memeriksakan dirinya, tapi jauh di lubuk hatinya mengatakan, dia
pastilah sudah terjangkit virus HIV. "Sejak kami menikah, tak pernah kami
menggunakan kondom saat bersebadan," ujar Rini memelas.
Prita
dan Rini adalah sebuah gambaran, betapa HIV dan Aids sudah sedemikian menyebar
di negeri ini. "Kita tidak pernah tahu, jangan-jangan orang-orang di
sekeliling kita sudah poistif terinfeksi HIV," ungkap Baby Jim Aditya,
aktivis Aids tiap kali bercerita perihal penyebaran HIV/Aids.
HIV/Aids,
sebut Babby, adalah fenomena gunung es. Ia tampak kecil di permukaan, tapi
sesungguhnya ia telah mewabah sedemikian luasnya. Baby malah menyebut persoalan
ini sudah menjadi bencana nasional buat Indonesia, dengan perkiraan kasar,
sebanyak 80 hingga 100 ribu warga Indonesia telah terjangkit virus HIV.
Kembali
ke dua perempuan yang sedang mengikuti pelatihan mengembalikan kwalitas hidup
penderita HIV/Aids di Taman Sringanis, Bogor itu. Prita, tampaknya memang lebih
beruntung dibanding Rini. Setidaknya, ia mengaku hingga kini masih bisa
membentengi dirinya dengan kondom, meski dalam beberapa penelitian keamanan
kondom sendiri masih diragukan sebagai penangkal penularan HIV. Kebocoran,
adalah salah satu hal yang mengkhawatirkan pada salah
satu
alat kontrasepsi ini.
Adapun
Rini, untunglah kini ia terlibat aktif bersama suaminya di sebuah LSM yang
menaruh perhatian pada penderita HIV/Aids. Kegiatan ini menurut Rini, bisa
melipur hatinya yang kerap diliputi oleh ketakutan akan hari esok yang legam.
Tapi
setabah-tabahnya Rini, ia cumalah seorang perempuan muda. Usianya baru 27.
Sebuah usia yang belum cukup matang untuk menerima kegetiran hidup se-tiba-tiba
itu. Bayangkanlah, ketika remaja, Rini menjalani hidupnya lurus-lurus saja. Ia
memang tahu, beberapa kawannya memakai narkoba, tapi tak pernah sekalipun Rini
mencobanya. Sebagai anak sulung di keluarganya, Rini juga ingin menjadi teladan
bagi adik-adiknya. Oleh karenanya, ia pun semampunya berkelakuan baik, termasuk
beribadah kepada Tuhan Yang Kuasa seperti yang diajarkan oleh agamanya.
Rini,
tak seperti kebanyakan penderita HIV yang terjangkit lantaran narkoba atau seks
bebas yang kebanyakan di antara mereka memang tahu risiko dari pilihan
hidupnya. Rini adalah sebuah pengecualian. Kesalahan terbesar Rini cumalah
karena ia memilih bersuamikan seorang lelaki penderita HIV yang tak jujur
kepadanya.
Ya,
ya..., berada di sekitar para penderita HIV sungguh seperti sedang menonton
pertunjukan sulap. Kejutan demi kejutan yang mengoyak akal sehat, bisa mendadak
datang dari mereka.
Saat
Babby Jim Aditya memperkenalkan seorang penderita HIV bernama Polan (bukan nama
sebenarnya) di tahun 2001 pada hari Aids, rasanya tak percaya. Kecuali masih
muda, penampilan Polan juga tampak sehat-sehat saja.
Tapi
rupanya, itu kejutan yang tak seberapa. Sebab dari mulut Polan akhirnya muncul
kisahnya sendiri. Ternyata ia adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya
yang juga terkena HIV/Aids. Tak berhenti sampai di situ, rupanya An dan
istrinya almarhum...juga telah dikaruniai seorang anak berusia 3 tahun (kala
itu). Entahlah, apakah kini Polan telah berani memeriksakan anaknya itu untuk
mengetahui sang anak terkena HIV atau tak. Tak cukup sampai di situ,
terakhir terdengar kabar, Polan sudah
menikah kembali. Tak jelas benar, apakah Polan menikahi seorang perempuan
penderita HIV atau perempuan sehat.
Kemudian
pada tahun 2003, saya diperkenalkan dengan seorang anak muda berusia 20 tahun
bernama Andika. Saat bercakap-cakap dengannya, tampak betul jika Dika--panggilan
akrab Andika, adalah seorang anak yang
cerdas. Benar dugaan saya, sebab belakangan saya tahu, ketika sekolah dasar
Dika selalu juara kelas. Tapi apa mau dikata, ternyata virus HIV pun siap
merampas kemudaannya kapan saja. Ya, Andika, si anak cerdas, si muda belia,
ternyata telah terserang virus mematikan itu: HIV!
Dan
tanpa tedeng aling-aling, Andika dengan gagah mengaku dirinya adalah junkies,
adalah penderita HIV, adalah seorang anak muda yang belakangan gampang didera
oleh penyakit maupun depresi yang turut memperlemah kondisi tubuhnya.
Setelah
Andika, saya juga kenal Di, Ja, dan berpuluh-puluh anak muda yang pada tubuhnya
telah
mengeram
virus HIV. Dari mereka yang masih segar bugar, setengah sehat, hingga yang
sedang meregang maut di RS Dharmais. Sebagian besar terjangkit lewat jarum
suntik yang digunakan ramai-ramai saat pakaw (mengkonsumsi putaw), sebagian
lainnya lantaran hubungan seks bebas di antara para junkies.
Makin
mengenal komunitas para penderita HIV, terasa kian terbukti ucapan Babby Jim
Aditya pada suatu ketika, betapa HIV di Indonesia serupa fenomena bola salju
yang menggelinding dari bukit. Makin besar dan makin membesar. Puluhan,
ratusan, bahkan ribuan orang di negeri kita telah terjangkit HIV. Dan sialnya,
sebagian besar di antaranya adalah mereka yang tergolong usia produktif. Bahkan
saya dengar dari cerita Wulan, salah seorang aktivis Aids, ada anak berusia 13 tahun
yang juga telah terjangkit virus HIV.
"Kita
tak pernah tahu, mungkin saja orang-orang di sekeliling kita sebetulnya sudah
terjangkit virus HIV," ujar Babby berkali-kali setiap membicarakan
penyebaran virus HIV/Aids di Indonesia.
Tiga
bulan sudah saya tak lagi berkomunikasi dengan Prita dan Rini. Dari Wulan saya
dengar, Prita masih asyik dengan bisnis kausnya. Entahlah dengan Rini. Semoga
saja keduanya memiliki kegiatan yang bisa melupakan derita hidup mereka.
Tapi
sungguh, tiap kali mengenangkan wajah keduanya, saya sedih dibuatnya.
Wajah-wajah yang manis itu, terutama Rini, mungkin saja akan segera kisut dalam
sepuluh tahun mendatang lantaran Aids mendera kekebalan tubuhnya.
Hingga
kini saya masih merasakan kepedihan hati Prita dan Rini yang pernah menuduh
dunia tak adil memperlakukan mereka.
Tapi
begitulah hidup, kawan-kawan yang manis. Hidup bagai kain yang kita pintal hari
demi hari. Sadar atau tidak, kita jualah yang memilih benang-benangnya untuk
menjadi kain sutra atau selembar blacu yang rombeng.
"Lihatlah,
Rin...mendung kini telah pergi. Matahari dengan leluasa menyengat gigir Gunung
Salak. Begitulah pula hidup kita. Kadang redup, kadang cerah," kata saya
kala itu.
Rini
cuma mengangguk. Ia mencoba untuk tersenyum, tapi tetap saja kabut masih
membayang di matanya.
Ya,
ya..., Rini memang belum memeriksakan darahnya untuk memastikan apakah dirinya
positif HIV atau tidak. Tapi saya melihat bayang-bayang keputus-asaan amat
kental di wajahnya
Mulutnya
terbata-bata ketika saya menanyakan perihal keluarganya nun di Pulau Sumatra
sana. Ia bilang, keluarganya belum tahu kondisi dirinya dan juga suaminya.
Lantaran
mengenangkan kemungkinan buruk itu, kemungkinan pada suatu kali kelak
keluarganya tahu kondisi dirinya, air matanya mulai menitik di ujung kedua
matanya.
Saya
mengelus telapak tangannya lembut. Mencoba memberinya ketabahan. Lalu saya
bilang, mengapa kita tak belajar kepada daun yang tetap bermanfaat bagi
kehidupan kendati ia telah rontok ke tanah.
"Daun?"
tanya Rini. "Ya, daun...," jawab saya.
"Daun...,
akulah itu daun yang kini dimakan ulat, meranggas pelan-pelan sebelum akhirnya
mengelinting kering."
"Semua
orang juga akan kering mengelinting."
"Tapi
tidak seperti aku."
"Ah,
kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok."
"Maksudmu?"
"Kenapa
kita memikirkan sesuatu yang sungguh mati bukan urusan kita."
"Lantas?"
"Menjadi
daun itulah maksudku. Tak soal dimakan ulat atau diserang hama lainnya, toh
ketika rontok, lantas jadi humus, ia bermanfaat bagi tanah yang menumbuhkan
kehidupan bagi tanaman."
Rini
diam sejenak. Matanya menerawang jauh entah ke mana. Tapi pelan-pelan senyumnya
terbit dari bibirnya yang tipis.
"Kenapa?"
saya bertanya.
"Aku
sedang berpikir," sahut Rini.
"Memikirkan
suamimu?"
Rini
menggeleng.
"Memikirkankan
ketemu pelawak?"
Rini
mencibir. Lalu, dengan senyum dikulum ia berkata, "Aku sedang berpikir mau
jadi daun apa."
"Semua
daun bermanfaat," kata saya.
Rini
tiba-tiba bangkit. Masih dengan senyum di kulum, pelan-pelan ia melangkah menuju
halaman yang ditumbuhi rumput dan aneka tumbuhan.
Rini
terus berjalan. Mendadak ia menghilang di balik semak-semak tanaman sirih. Lima
detik tak saya dengar suara Rini. Sambil berjalan mendekati tempat
persembunyiannya, saya memanggil namanya.
"Rini...,
Rini... di mana kamu?"
Tak
ada jawaban.
"Rin..."
"Aku
di sini."
"Ngapain
kamu di situ?"
"Aku
sedang belajar jadi daun."
Saat
saya jumpai Rini, ia sedang telentang di atas rumputan sambil memejamkan mata.
Dari mulutnya tersungging senyuman yang menyejukkan. Amat damai...sangat damai.
Ah..., barangkali ia tengah membayangkan, dirinya telah sempurna menjelma daun.